Friday, March 03, 2006

Hati-hati Minum di Jalan, bisa ketangkep!!!

Kompas:
Hati-hati Minum di Jalan, Bisa Ditangkap...


SOELASTRI SOEKIRNO

Jangan coba-coba bergerak-gerik mencurigakan, apalagi berciuman dengan lawan
jenis di jalan, Anda bisa ditangkap!

Itulah salah satu peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di Kota
Tangerang, Provinsi Banten.

Tepat pada usia ke-13, Pemerintah Kota Tangerang mulai melaksanakan Perda
Nomor 7 Tahun 2005 tentang larangan pengedaran dan penjualan minuman
beralkohol, dan Perda No 8/2005 tentang larangan pelacuran tanpa pandang
bulu.

Mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan ditangkap, ditahan, lalu
diadili. Karena itu, jika Anda seorang perempuan dan sedang berada di Kota
Tangerang, jangan pernah bersikap mencurigakan atau berada sendirian di
jalan, di atas pukul 19.00, terutama di jalan yang disebut-sebut sebagai
tempat pekerja seks komersial (PSK) biasa mangkal. Anda bisa dikenai perda
antipelacuran tersebut.

Sidang perdana penerapan perda itu sudah mulai dilaksanakan Selasa (28/2)
lalu. Dalam persidangan yang digelar bersamaan dengan pesta ulang tahun Kota
Tangerang itu ternyata tak semua yang ditangkap, ditahan, lalu diadili
adalah PSK.

Sebagian di antara mereka adalah ibu rumah tangga yang saat penangkapan itu
kebetulan sedang minum teh botol di tepi jalan sebelum melanjutkan
perjalanan ke rumahnya.

Ada pula seorang istri yang sedang bersama kawan suaminya di hotel karena
menunggu sang suami mencari makan malam sebelum bertemu rekanan bisnis
jual-beli mobil.

Selain itu, ada istri seorang guru SD negeri di Kota Tangerang yang hendak
mencari angkutan kota setelah pulang dari tempat kerjanya.

Ada pula perempuan yang didakwa sebagai PSK, tetapi belum sempat
bertransaksi dengan pria yang menghendakinya. "Saya baru saja sampai, belum
dapat tamu karena masih sore, baru pukul 20.00, eh... keburu ditangkap,"
katanya.

Meski di antara mereka ada yang tidak terbukti sebagai PSK, oleh hakim
tunggal Barmen Sinurat, mereka tetap dinyatakan bersalah melanggar Pasal 4
Ayat 1 Perda No 8/2005.

Perda itu berbunyi, "Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan,
sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada
di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen,
hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan,
gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan
atau tempat lain di Daerah".

Sinurat lalu menghukum mereka membayar Rp 1.000, lalu mengembalikan mereka
kepada keluarga masing-masing untuk dibina.

Mereka yang mengaku sebagai PSK dihukum denda Rp 150.000-Rp 550.000 atau
kurungan tiga sampai delapan hari.

Hukuman ini memang lebih ringan daripada ketentuan dalam perda yang
mengancam pelanggarnya paling lama tiga bulan kurungan atau denda
setinggi-tingginya Rp 15 juta.

Istri guru

Yang menarik adalah pengadilan atas Ny Lilis Lindawati (36), istri seorang
guru SD Negeri V di Gerendeng, Tangerang. Terhadap istri guru ini Sinurat
tetap menyatakan dia sebagai PSK sekalipun Lilis menolak keras dakwaan itu
karena dia adalah pekerja yang saat itu hendak pulang ke rumah.

Nasib sial menambah penderitaan Lilis. Sampai sidang usai digelar, Lilis
yang tengah hamil dua bulan itu tak bisa menghadirkan saksi yang menerangkan
bahwa dirinya bukan pelacur. "Tolong jemput suami saya. Saya ini bukan
pelacur seperti yang dikatakan tadi," pinta Lilis sembari menangis.

Hakim menghukum Lilis membayar denda Rp 300.000 atau kurungan delapan hari.
Namun, Lilis menolak membayar denda karena ia merasa bukan pelacur
sebagaimana yang didakwakan.

Sejak ditahan, Lilis bukan tak berusaha menghubungi suami dan keluarganya.
Namun, upaya meminjam telepon kepada petugas atau pergi ke warung
telekomunikasi untuk menghubungi saudara atau rekannya pun ia tidak mendapat
izin. "Suami saya tak punya telepon," papar Lilis.

Ketika selesai sidang dia mendapatkan pinjaman telepon, Lilis buru-buru
menelepon salah seorang teman suaminya. Namun, sang suami yang hari Selasa
menderita tekanan darah tinggi ternyata tidak muncul di sidang pengadilan
sehingga ia dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

Tak pulangnya Lilis ke rumah membuat suaminya, Kustoyo (42), bertanya-tanya.
Namun, karena ia sedang sakit dan sama sekali tak punya uang, Kustoyo
memilih menunggu sang istri pulang. Selasa malam seorang rekannya yang
mendapat telepon dari Lilis baru sempat memberi kabar bahwa istrinya ditahan
karena kena razia.

Malam itu juga Kustoyo datang ke Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Tangerang sambil membawa kartu tanda penduduk, surat nikah, dan kartu
keluarga. Petugas menyarankan, guru yang sudah mengabdi selama 20 tahun
dengan golongan 3C tersebut datang keesokan harinya (Rabu).

"Saya tak punya uang sama sekali, untung sama teman saya dikasih Rp 5.000.
Tapi malam itu saya tak berani pulang, takut tak punya ongkos buat
besoknya," tutur tamatan sekolah pendidikan guru agama itu.

Malam itu ia nekat minta izin seorang yang bekerja di warteg (warung tegal)
kenalannya untuk menginap di bangku belakang warung. "Semalaman itu saya tak
bisa tidur, bingung harus bagaimana," katanya.

Ia mengatakan, Lilis dua bulan terakhir bekerja di sebuah rumah makan di
Tangerang. Sang istri biasa berangkat kerja siang hari dan sampai di rumah
sekitar pukul 23.00 dengan naik angkutan kota yang berganti beberapa kali.

Rabu pagi Kustoyo datang ke Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan
Karawaci untuk melapor kepada Ius, atasannya. Atas saran Ius, Kustoyo
membuat surat klarifikasi bersegel yang menyatakan bahwa Lilis adalah
istrinya dan bekerja di sebuah restoran di Tangerang.

Surat klarifikasi itu ditujukan kepada Kepala Dinas Penertiban dan
Ketertiban Kota Tangerang. Ketika ia membawa surat ke kantor tersebut,
petugas di sana meminta dia pergi ke Pusat Pemerintahan (Puspem) Kota
Tangerang untuk bertemu dengan petugas bernama Lubis.

"Uang di kantong tinggal dua ribuan. Supaya cukup untuk ongkos pulang, saya
jalan kaki ke Puspem. Tapi, di kantor itu saya diminta membayar Rp 300.000
jika ingin membebaskan istri saya," tuturnya lirih.

Ia sempat agak marah ketika beberapa petugas di Puspem menyatakan istrinya
mengaku sebagai pelacur. Atas petunjuk pegawai di Puspem, Kustoyo pergi ke
Kejaksaan Negeri Tangerang dengan berjalan kaki untuk menemui seorang jaksa
yang menangani perkara istrinya itu.

Sampai di kejaksaan, petugas menyatakan jaksa yang ia cari tidak ada di
kantor karena sedang sidang. "Mereka minta saya membayar denda untuk istri
saya, tapi dalam hati saya menolak karena istri saya bukan pelacur," katanya
saat ditemui Kompas, Rabu sore.


Hingga kemarin Kustoyo belum berhasil membebaskan istrinya yang ia nikahi
tahun 2001. "Ia sedang hamil. Saya takut ia keguguran lagi," tuturnya.

Lilis ditangkap hari Senin lalu sekitar pukul 19.00-22.00 ketika petugas
melakukan razia di jalan-jalan utama dalam kota itu. Saat itu juga 27
perempuan dan seorang waria yang sedang berada di tepi jalan dan di dalam
kamar hotel ditangkap.

Tak peduli saat itu mereka sedang berdiri menunggu angkutan kota, tengah
minum teh botol, makan di warung sendirian, atau berada di dalam kamar
hotel. Pokoknya, dalam keberadaan seperti itu, mereka langsung diangkut ke
kendaraan menuju Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang. Di
sanalah mereka diproses berdasarkan perda kota tersebut.

No comments: